Ia terus saja memandangi peta yang diberikan saat pendaftaran seminggu
yang lalu. Tidak ada yang menarik dalam peta itu, seperti peta pada
umumnya. Yang pasti bertuliskan arah mata angin dan letak-letak tempat
yang diberi simbol gambar dengan warna yang berbeda-beda. Bibir bagian
bawahnya terus saja diatup-atupkannya ke atas sembari menggaruk-garuk
rambutnya. Bukan karena gatal tapi itulah ritual yang harus dilakukannya
ketika bingung. Terang saja ia sangat bermasalah dengan arah mata
angin. Sejak kecil ia paling benci dalam membaca peta. Ia terus saja
menggerutu dimana letak kelasnya. Dalam hal ini ia
tidak menyalahkan otaknya namun karena sekolah ini yang terlalu besar.
Walau sepintas ada sedikit rasa bangga dapat masuk ke sekolah ini.
Bagaiamana tidak, sekolah ini adalah sekolah favorit di kotanya. Hanya
orang-orang tertentu yang diterima di SMA ini. Sedang dibelakangnya
seorang laki-laki nampak duduk di kursi taman. Memperhatiakan
gerak-geriknya yang bodoh. Sembari menunggu bel masuk laki-laki itu
membuka pesan masuk dari ibunya.
Mama sama papa gak jadi pulang minggu ini. Mungkin sebulan lagi…
kenapa?
Ada bisnis yang belum terselesaikan….
Ow mending gak usah pulang aja sekalian!
Setelah
pesan terakhir yang ia kirim tidak ada tanda-tanda ibunya akan
membalas. Ia mendesah sengit. Sudah satu setengah tahun ini ayah dan
ibunya pergi untuk urusan bisnis. Ini bukan kali pertama ayah dan ibunya
pergi ke luar negeri untuk waktu yang lama. Hal ini sudah menjadi
kebiasaan yang wajar dikeluarganya. Menjalani hidup seperti ini tentu
bukanlah keinginannya. Baginya bukan uang yang dibutuhkannya tapi
perhatian dari orang tua. Hari ini adalah hari pertamanya masuk SMA.
Semuanya dia urus sendiri. Dari penerimaan hasil kelulusan sewaktu SMP
sampai pendaftaran masuk yang seharusnya didampingi oleh orang tuanya.
Bahkan ayah dan ibunya saja tidak tahu kalau anaknya sudah masuk SMA.
Terakhir mereka bertemu ketika ia masih duduk di bangku SMP. Ia teringat
anak perempuan yang dilihatnya barusan, ternyata sosoknya sudah
menghilang. Bel masuk telah berbunyi. Ia segera menghampiri kelasnya
yang berada di lantai dua, tersendiri dari kelas-kelas lain. Kelas ini
bersebelahan dengan gudang dan ruang seni. Didalamnya sudah ramai dengan
teman-teman barunya. Kehadirannya menyita perhatian anak-anak perempuan
yang hadir lebih dahulu. Sepintas mereka melihat nama yang tertempel
pada seragamnya. Naken Nuranggra. Membuat mereka kegirangan mengetahui
namanya. Tersisa satu meja dipojok kanan. Ia hanya duduk seorang
sendiri. Suasana di kelas berubah senyap ketika guru dengan perawakan
kurus dan rambut yang berantakan masuk. “Oke selamat pagi anak-anak.
Nama saya Deden dan saya yang akan menjadi wali kelas kalian,” jelasnya.
Pertemuan ini diawali dengan perkenalan semua siswa. Termasuk dirinya
yang untuk kedua kalinya menyita perhatian kaum hawa. Ia hanya tertawa
getir melihat perilaku anak-anak perempuan itu. Baginya mereka hanya
melihat sosoknya dari luar. Mungkin jika mereka mengetahui siapa dirinya
yang sebenarnya, dengan masa lalu yang begitu kelam maka tentu saja
akan membuat mereka bergidik ketakutan. Setelah perkenalan ini berakhir
Pak Deden bercerita panjang lebar mengenai sejarah dan prestasi-prestasi
yang telah diukir oleh SMA ini. Spontan kalimat Pak Deden terhenti
ketika terdapat sosok dibalik pintu yang minta dipersilahkan masuk.
Awalnya beliau sedikit marah karena ada siswanya yang telat namu Pak
Deden segera menyuruhnya masuk dan memperkenalkan diri.
“Nama saya
Nuki Kalilal. Biasa dipanggil Nuki.” Perkenalannya singkat bahkan tanpa
diakhiri seulas senyum. Sekarang ia duduk dikursi pojok kanan oleh
seorang anak laki-laki yang baru dikenalnya hari ini. Belum ada
percakapan diantara mereka. Ini kali pertamanya untuk Naken duduk semeja
dengan anak perempuan. “Kenapa telat?” Tanya Naken dengan nada datar. “
Bingung nyari kelas,”timpal teman sebangkunya. “Kan udah ada peta waktu
pendaftaran,” sanggah Naken. “Buta arah,” ungkap Nuki tanpa
ditutup-tutupi. Dalam hati Naken tertawa. Ada orang bisa buta arah. Hari
pertama belum dimulai pelajaran. Sedang teman semejanya hanya diam
menatap kosong dinding kelas.
Naken berangkat pagi-pagi sekali. Ia
ingin segera meninggalkan rumahnya yang mewah ini. Keberadaannya dalam
rumah ini hanya akan membuatnya teringat pada kedua orang tuanya yang
egois. Bahkan sarapan yang telah disiapkan oleh pembantunya sama sekali
tidak digubrisnya. Jam segini pasti sekolah masih sepi pikirnya. Memang
kelihatannya belum ada yang datang. Hanya dua orang satpam yang baru
saja membuka gerbang utama dan seorang tukang kebun. Ia segera melangkah
ke kelasnya yaitu lantai dua. Ia tersenyum senang karena memang
tebakannya tepat. Segera ia memutar musik bergenre rock. Dengan menguyah
tiga permen karet sekaligus, dihentak-hentakan kepalanya mengikuti lagu
tersebut. Ia telah terhanyut dalam lagu kesukaannya. Inilah hal yang ia
lakukan untuk menghilangkan kepenatan dalam hidupnya. Sembari mengunyah
permen karet ia juga meniupnya agar menjadi sebuah balon. Namun belum
sempat ia menyelesaikannya, sudah banyak bermunculan gelembung-gelembung
sabun dari atas. Nampaknya dari atas atap. Ia segera menghampiri asal
gelembung itu.
“Dasar anak kecil!” Teriak Naken. Tidak ada sepatah
kata pun yang keluar dari mulut gadis itu. “Gak malu sama umur?”
Perkataan Naken sama sekali tidak ditanggapinya. Musik rock secara
perlahan ia tinggalkan. Ia lebih tertarik melihat Nuki meniup
gelembung-gelembungnya. “Sempat-sempatnya beli kaya gitu,” dengan nada
mengejek ia kembali bertanya. “Datang pagi-pagi hanya karena niup
gelembung?” selidiknya. Ia merasa aneh dengan perilaku temannya itu.
“Kura-kura dan langit,” dengan tetap terfokus pada
gelembung-gelembungnya yang semakin lama pergi meninggalkanya. Naken
sama sekali tidak mengerti ucapan gadis itu.
Anak –anak berhamburan
meninggalkan kelas. Namun Nuki masih duduk berdiam diri. Teman semejanya
yang sedari tadi ingin pulang kini tidak bergairah lagi. Langkahnya
terhenti dan tubuhnya lebih memilih berdiri di samping gadis yang
pandangannya menerawang jauh. Gadis itu seperti membeku. Tubuhnya,
nafasnya seperti membeku. Bahkan jiwanya seperti tidak menepati raganya.
“Kenapa?” Tanya Naken asal. Nuki hanya menggeleng dan memasukkan
buku-bukunya ke dalam tas. Setelah itu ia menarik tasnya kepunggung
sambil berjalan tanpa memperhatikan sebelahnya. Ia segera berlari ke
atas atap. Untuk kedua kalinya Naken melihat gadis itu meniup
gelembung-gelembungnya. Ia nampak asik dengan dunianya. Semua yang ia
lakukan seperti ada makna yang terkandung di dalamnya. Namun Naken
benar-benar tidak mengerti apa yang dilakukan gadis itu
“Sebenarnya
apa yang kamu lakukan?” Ujar Naken. Nuki tidak menjawabnya. Ia terlalu
terhipnotis dengan dunianya. Namun selang tujuh menit ia baru menjawab.
“Aku sedang menyapanya dengan gelembung-gelembung ini,” jawabannya tidak
memberikan kepuasan pada Naken, justru menimbulkan teka-teki baru.
Lagi-lagi
yang ditemuinya hanya lima orang pembantunya. Tidak ada yang berubah
sejak ia kecil hingga sebesar ini. Tasnya dilemparkan dengan asal dan
tubuhnya dihempaskan ke ranjang. Ia mulai memejamkan matanya namun
samar-samar masa lalunya yang kelam mulai diingatnya kembali.
Pergaulannya yang bebas menjerumuskannya pada benda terlarang yang
seharusnya tidak ia kenal. Diumurnya yang baru empat belas tahun
menjadikannya anggota termuda dari genk berandalan itu. Posisinya memang
cukup ditakuti karena dia menjabat sebagai wakil ketua genk.
Kelebihannya dalam bela diri membuatnya ditakuti para bawahannya. Tidak
bisa diragukan lagi karena sejak kecil ia telah bergabung dalam klub
karate. Dan tidak kaget diusianya yang baru empat belas tahun ia telah
memegang sabuk hitam . Hal ini membuatnya dipercaya untuk mengemban
jabatan sebagai wakil ketua meskipun banyak yang lebih tua darinya.
Sudah genap satu tahun ini ia meninggalkan dunia kelamnya. Masa-masa
sulit yang ia jalani ketika melepaskan diri dari gerombolan-gerombolan
manusia biadab dan benda haram itu hanya dilakukannya seorang diri.
Meskipun anggota genk tersebut masih terus mengincarnya. Hanya ada dua
pilihan untuknya, bergabung kembali atau mati. Namun ia tidak memilih
keduanya. Ia lebih memilih meninggalkan semuanya dan kembali menjadi
dirinya sendiri. Air sower yang mengucur deras di kepalanya sejenak
membuat dingin pikirannya. Namun samar-samar segera muncul sosok yang
lain. Sosok yang menurutnya sangatlah aneh. Gadis yang berbeda dari
gadis lainnya. Terlalu rumit untuk memahaminya. Gadis itu seperti
mempunyai dunianya sendiri. Dunia yang tersembunyi.
Mengikuti
pelajaran untuk beberapa hari ini baginya sangatlah menjemukan. Ia lebih
memilih naik ke atas atap sambil memutar musik kesukaannya. Musik
bergenre rock. Tidak lupa tiga permen karet dilahapnya sekaligus.
Tubuhnya bersandar pada dinding dengan kepala yang dihentak-hentakkan.
Matanya terpejam menghayati latunan musik yang ia putar. Sedang sosok
Nuki duduk di depannya sambil menatap langit. Menyadari ada orang lain
di dekatnya ia segera membuka mata dan melepas headset yang terpasang
ditelinganya. Ia berjalan mendekat namun tetap di belakang Nuki.
“Empat
hari gak masuk kelas cuma buat dengerin musik.” Bukan sebuah pertanyaan
yang dikatakannya namun lebih pada kesaksian. “Konyol!” Lanjutnya.
“Konyolan
mana sama anak SMA yang masih niup gelembung kaya anak TK!” sergah
Naken yang kini mengamati teman semejanya. Ia hanya tersenyum. Bukan
kepada Naken tetapi lebih tepatnya pada langit. “Gak niup gelembung?”
Tanya Naken dengan penasaran. “Lupa bikin. Tapi ini mungkin pertanda
dari langit.” Ia masih memandang langit dengan tatapannya yang kosong
namun jiwanya seperti mendekat pada langit. Naken mereka-reka apa yang
dibicarakan teman semejanya. Namun otaknya tidak menemukan maksud
kata-katanya barusan. “Memangnya pertanda apa?” Ujarnya masih tetap
memperhatikan gerak-gerik temannya. “Pertanda jika kura-kuraku sebentar
lagi akan terbang menyapanya,” jawab Nuki. Percakapan mereka terhenti
sampai disitu. Naken tidak berani membahasanya lebih jauh. Ia takut
mengganggu dunianya.
Bel sekolah berbunyi. Menandakan waktu sekolah
telah usai. Naken tetap duduk sambil menyandarkan tubuhnya pada dinding.
Sebenarnya ia menunggu apa yang akan dilakukan teman sebangkunya. Tidak
ada percakapan diantara mereka. Dan orang yang diamati sama sekali
tidak menyadarinya. Gadis itu hanya berdiam diri masih dengan tatapannya
yang menerawang jauh. Wajahnya bertumpu pada tangan kanan sedang tangan
kirinya dijentik-jentikan ke meja. Selang beberapa menit ia berjalan
menuju atap. Naken mengikutinya. Lagi-lagi yang dilakukannya hanya
menatap langit. Seperti semua permasalahannya ia tumpahkan pada langit.
Tanpa bicara namun bahasa tubuhnya telah mengisyaratkan bahwa ia sedang
berkomunikasi dengan sahabatnya. Langit.
“Sungguh aku tidak dapat
mereka apa yang kamu pikirkan. Setiap kali kamu melakukan ritualmu ini
aku tidak dapat mengerti apa maksudnya. Mungkin aku dapat menyimpulkan
jika kamu menderita autis atau semacamnya, tapi bukan itu yang ingin
kuterima. Kamu seperti……… seperti……. Ahh kamu aneh!” Ungkapnya panjang
lebar hingga kehabisan kata-kata untuk menggambarkannya. Nuki tidak
memberikan tanggapan. Lagi-lagi ia tersenyum. Lebih tepatnya tersenyum
pada langit. Selang beberapa menit pandangannya berpaling pada Naken.
Bukan kata-kata yang keluar dari mulutnya namun hanya pandangan yang
tepat jatuh pada mata Naken. Pandangan itu merasuk kedalam relung
jiwanya, tajam, dan menghentakkannya. Ia kemudian berbalik arah
meninggalkan Naken. Langkanhya cepat tidak ada keraguan sedang Naken
menyusulnya. “Pulang?” Tanya Naken. Hanya dijawab Nuki dengan anggukan.
“Kemana?” lanjutnya. Awalnya gadis dihadapanya tiba-tiba berbalik
memandangnya dan itu membuatnya sedikit kaget. “Angkring,” namun
kemudian gadis itu menanggapi pertanyaannya. “Kampung Angkringan
maksudnya?” Kening Naken tiba-tiba berkerut. Sekali lagi dijawab Nuki
dengan anggukan. Sebelum menuju Kampung Angkringan mereka harus melewati
Jalan Belabakan. Dan ia tahu resiko yang akan dihadapinya. Karena
kemukinan besar orang-orang dimasa lalunya akan ada di sepanjang Jalan
Blabakan. Namun akal sehatnya sedang tidak berada diposisinya. Ia lebih
memikirkan keselamatan temannya. Bagaimanapun juga Nuki adalah seorang
perempuan. Meskipun hal ini sudah biasa dihadapi gadis itu saat pulang
sekolah. Tapi ia tetap mencemaskan temannya. Keduanya menjadi pusat
perhatian para berandalan di sepanjang jalan. Nuki masih saja tenang. Ia
tidak sedikitpun merasa takut. Begitu juga dengan Naken. Ia merasa hal
seperti ini belum ada apa-apanya ketika ia mengingat saat dulu menjadi
anggota genk.
“Gak takut?” ujar Naken.
“Udah biasa.”
“Belum pernahdiganggu?”
“Belum. Ayahku mantan preman disini.”
“Sekarang ayah kamu dirumah?
Ia menggeleng.
“Udah
meninggal lima tahun yang lalu.” Suasana kembali hening.
Berpasang-pasang mata menatap langkah demi langkah dua bocah berseragam
itu. Salah seorang laki-laki melangkah maju mendekati mereka. “Woy…..
berhenti loe penghianat!!!!” Dengan suara yang nyaring memekakan
telinga. Semuanya ikut berdiri dan menatap tajam Naken. Kata-kata kasar
telontar dari mulut mereka. Naken segera menyambar tangan Nuki dan
mengajaknya lari secepat mungkin. Sedang berandalan-berandalan itu
menyusul bagaikan sekawanan anjing liar.
“Kita mau kemana?” Teriak Nuki.
“Haaaahhh ?”
“Kita mau kemana?” Ulang Nuki dengan nafas yang terengah-engah.
“Terserah kamu aja. Yang penting jangan ketemu mereka,” pinta Naken.
Nuki
segera mengambil alih rute lari mereka. Berandalan-berandalan itu cukup
tertinggal jauh. Mereka melewati gang-gang sempit. Kemudian tembus ke
jalan setapak dan berlari menuju belakang kampus milik swasta.
Dibelakang kampus itu ternyata terdapat hutan. Mereka masuk ke dalam
hutan itu. Nampaknya hutan ini menjadi tempat persembunyian Nuki.
Keduanya lelah, keringat mereka bercucuran kemana-mana. Sebagian besar
pohon pinuslah yang menepati hutan ini. Sedang dari sini mereka dapat
melihat pemandangan yang menajubkan. Karena hutan ini berada di dataran
tinggi.
“Ini pasti tempat ritual kamu”, ucap Naken. Ia sekarang
menyadari jika segala tempat yang tinggi pasti akan lebih dekat dengan
langit. Dan jika dekat dengan langit maka gadis ini akan menyukainya.
“Apa hubungan kamu dengan mereka?” Masih seperti biasa, ia berbicara
tanpa sedikitpun melepas pandangannya pada langit. “Bukan siapa-siapa,”
jawab Naken sambil lalu. “Jawaban bodoh,” ungkap Nuki remeh.
“Mereka
memang bukan siapa-siapa! Memangnya siapa kamu! Berani-beraninya
mengatakan seperti itu…..! Dasar autis!” Umpatnya panjang lebar.
Sebenarnya tidak ada yang membuatnya marah. Hanya pertanyaan Nuki yang
dianggapnya menyimpan nada ejekan akan masa lalunya. Kata-kata yang baru
saja terlontar membuatnya malu pada Nuki. Ia segera berlari
meninggalkan gadis itu. Ia memang sadar jika Nuki tidak bersalah tapi
dirinyalah yang tidak mampu bangkit dari keterpurukan.
Kali ini ia
merasa sangat bersalah. Ia merasa sangat bersalah pada gadis itu. Ia
sadar bahwa kata-katanya kemarin dapat menyakiti hati siapapun yang
mendengarnya. Hari ini ia berencana berangkat pagi-pagi sekali. Mungkin
gadis itu sudah ada di atas atap. Seperti biasa sarapan yang telah
disiapkan pembantunya sama sekali tidak dihiraukannya. Tebakannya tidak
meleset. Nuki sudah berada di atas atap . Ia sedang melakukan ritualnya.
Memandang langit. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Namun
cara ia memandang langit telah mengisyaratkan jika ia sedang bicara pada
langit. Naken hanya duduk mengamati teman semejanya. Sebisa mungkin ia
tidak membuat suara yang bisa mengganggu ritual gadis itu. Baginya
pertunjukan ini sangatlah menarik. Pertunjukan yang dapat membuatnya
sejenak melupakan masalahnya. Tapi tiba-tiba saja Nuki menghentikan
ritualnya. Ia berbalik memandang Naken. Bukan ungkapan rasa marah yang
diperlihatkannya tapi sekedar melihat keadaan temannya. Naken yang
merasa diperhatikan langsung tanggap. Namun ia bingung apa yang harus
dilakukan. “Maaf ,“ ucap Naken tiba-tiba saja. Tidak ada tanggapan dari
Nuki. Ia hanya diam mematung tanpa ekspresi. Naken semakin bingung.
Bingung pada dirinya sendiri juga bingung menghadapi temannya. “Maaf
yang kemarin,” perjelas Naken. Nuki kembali menatap langit. Bagaimanapun
timbul rasa kecewa pada dirinya karena permintaan maafnya tidak
diterima. “Buat apa minta maaf, kata-kata kamu benar,” balas Nuki.
“Sekali lagi maaf,” ulang Naken. Pembicaraan mereka sejenak terhenti.
Keduanya asik dengan pikiran masing-masing.
Namun pembicaraan mereka
berlanjut ketika Naken memulainya kembali, “boleh aku bertanya.” sedang
gadis yang diajak bicara seolah-olah tidak menganggap kehadirannya.
Apa,” selang lima menit kemudian ia menjawabnya. “Maksud dari kura-kura
dan langit, juga ritual yang selama ini kerap kamu lakukan,” pintanya.
Naken lega mengatakan semua itu. Meskipun pada akhirnya gadis itu
mungkin tidak akan menjawabnya. Nuki menarik napas panjang dan
memejamkan matanya. Kemudian kembali menatap sahabatnya langit.
“Ketika
aku sendirian tanpa kehadiran orang lain yang mampu menemaniku,
memahamiku, menampung keluh kesahku apa salahnya jika aku lebih memilih
bersahabat pada langit. Aku lebih mempercayai langit karena aku membenci
mereka. Pada mereka yang selalu memasang topeng. Tentu saja dengan
wajah yang berbeda-beda. Langit itu luas tentu mereka dapat menampung
keluh kesahku. Ini sedikit mengurangi beban hidupku. Dengan begitu
semakin cepat kura-kuraku untuk terbang mendekati langit. Tentu saja
jika mimpi-mimpiku telah terwujud.” Seketika kata katanya barusan
membuat Naken diam ternganga. Semuanya ia ucapkan secara lugas tanpa
ditutup-tutupi. Nuki masih tetap memandang langit.
“Bolekah aku menjadi bagian dari langit? Karena aku ingin membantu langit untuk
menampung keluh kesahmu,” ujar Naken. Lagi-lagi Nuki hanya tersenyum kali ini
kepada keduanya. Langit dan Naken. “Terimakasih sahabat kura-kura,” ucap
Naken.
Suasana kembali seperti semula. Nuki menjadi seperti biasanya. Asik
dengan dunianya. Terlihat raut kecewa pada wajah Naken. Ia pikir sudah
ada komitmen antara langit, Nuki, dan dirinya.
“ Kamu itu seharusnya
elang,” ungkapnya. “Elang?” Naken tidak mengerti apa yang dikatakan
Nuki. “Iya, elang sang penguasa langit. Elang berbeda dengan kura-kura.
Elang telah diciptakan oleh Tuhan untuk terbang, tentu saja dengan
bermacam-macam kelebihannya. Mata tajamnya, penciumannya, dan kemapuan
terbangnya yang tidak tertandingi. Tapi mata kamu hanya terfokus ke
belakang. Jadi terbang kamu tak tentu arah bahkan kamu sering terjatuh.”
Mendengar perkataan Nuki, angin seperti datang menampar wajahnya,
menyambar bulu-bulu kulitnya. Meruntuhkan tulang-tulangnya.
Mengombang-ambingkan tubuhnya. Serasa bumi yang ia pijak meletus dengan
sangat dahsyat. Memekakan telinganya. Mengobrak-abrikan pikirannya. Ada
apa ini? Batin Naken. Panas merebak ke seluruh wajahnya. Tangannya
terasa dingin dan wajahnya seperti pucat pasi. Tenaganya seperti
terkuras habis.
Semua yang dikatakan Nuki memang pedas. Tapi inilah
yang ingin ia dengar. Kata-kata yang ingin ia dengar mengenai dirinya
dari seseorang. Kata-kata yang memotivasinya, membuatnya bersemangat
menatap masa depan. Dan itu semua ia temukan di dunia ini. Dunia si
gadis kura-kura.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar