Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 12 Januari 2015

Dunia Si Gadis Kura-kura

Ia terus saja memandangi peta yang diberikan saat pendaftaran seminggu yang lalu. Tidak ada yang menarik dalam peta itu, seperti peta pada umumnya. Yang pasti bertuliskan arah mata angin dan letak-letak tempat yang diberi simbol gambar dengan warna yang berbeda-beda. Bibir bagian bawahnya terus saja diatup-atupkannya ke atas sembari menggaruk-garuk rambutnya. Bukan karena gatal tapi itulah ritual yang harus dilakukannya ketika bingung. Terang saja ia sangat bermasalah dengan arah mata angin. Sejak kecil ia paling benci dalam membaca peta. Ia terus saja menggerutu dimana letak kelasnya. Dalam hal ini ia tidak menyalahkan otaknya namun karena sekolah ini yang terlalu besar. Walau sepintas ada sedikit rasa bangga dapat masuk ke sekolah ini. Bagaiamana tidak, sekolah ini adalah sekolah favorit di kotanya. Hanya orang-orang tertentu yang diterima di SMA ini. Sedang dibelakangnya seorang laki-laki nampak duduk di kursi taman. Memperhatiakan gerak-geriknya yang bodoh. Sembari menunggu bel masuk laki-laki itu membuka pesan masuk dari ibunya.
Mama sama papa gak jadi pulang minggu ini. Mungkin sebulan lagi…
kenapa?
Ada bisnis yang belum terselesaikan….
Ow mending gak usah pulang aja sekalian!

Setelah pesan terakhir yang ia kirim tidak ada tanda-tanda ibunya akan membalas. Ia mendesah sengit. Sudah satu setengah tahun ini ayah dan ibunya pergi untuk urusan bisnis. Ini bukan kali pertama ayah dan ibunya pergi ke luar negeri untuk waktu yang lama. Hal ini sudah menjadi kebiasaan yang wajar dikeluarganya. Menjalani hidup seperti ini tentu bukanlah keinginannya. Baginya bukan uang yang dibutuhkannya tapi perhatian dari orang tua. Hari ini adalah hari pertamanya masuk SMA. Semuanya dia urus sendiri. Dari penerimaan hasil kelulusan sewaktu SMP sampai pendaftaran masuk yang seharusnya didampingi oleh orang tuanya. Bahkan ayah dan ibunya saja tidak tahu kalau anaknya sudah masuk SMA. Terakhir mereka bertemu ketika ia masih duduk di bangku SMP. Ia teringat anak perempuan yang dilihatnya barusan, ternyata sosoknya sudah menghilang. Bel masuk telah berbunyi. Ia segera menghampiri kelasnya yang berada di lantai dua, tersendiri dari kelas-kelas lain. Kelas ini bersebelahan dengan gudang dan ruang seni. Didalamnya sudah ramai dengan teman-teman barunya. Kehadirannya menyita perhatian anak-anak perempuan yang hadir lebih dahulu. Sepintas mereka melihat nama yang tertempel pada seragamnya. Naken Nuranggra. Membuat mereka kegirangan mengetahui namanya. Tersisa satu meja dipojok kanan. Ia hanya duduk seorang sendiri. Suasana di kelas berubah senyap ketika guru dengan perawakan kurus dan rambut yang berantakan masuk. “Oke selamat pagi anak-anak. Nama saya Deden dan saya yang akan menjadi wali kelas kalian,” jelasnya. Pertemuan ini diawali dengan perkenalan semua siswa. Termasuk dirinya yang untuk kedua kalinya menyita perhatian kaum hawa. Ia hanya tertawa getir melihat perilaku anak-anak perempuan itu. Baginya mereka hanya melihat sosoknya dari luar. Mungkin jika mereka mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya, dengan masa lalu yang begitu kelam maka tentu saja akan membuat mereka bergidik ketakutan. Setelah perkenalan ini berakhir Pak Deden bercerita panjang lebar mengenai sejarah dan prestasi-prestasi yang telah diukir oleh SMA ini. Spontan kalimat Pak Deden terhenti ketika terdapat sosok dibalik pintu yang minta dipersilahkan masuk. Awalnya beliau sedikit marah karena ada siswanya yang telat namu Pak Deden segera menyuruhnya masuk dan memperkenalkan diri.
“Nama saya Nuki Kalilal. Biasa dipanggil Nuki.” Perkenalannya singkat bahkan tanpa diakhiri seulas senyum. Sekarang ia duduk dikursi pojok kanan oleh seorang anak laki-laki yang baru dikenalnya hari ini. Belum ada percakapan diantara mereka. Ini kali pertamanya untuk Naken duduk semeja dengan anak perempuan. “Kenapa telat?” Tanya Naken dengan nada datar. “ Bingung nyari kelas,”timpal teman sebangkunya. “Kan udah ada peta waktu pendaftaran,” sanggah Naken. “Buta arah,” ungkap Nuki tanpa ditutup-tutupi. Dalam hati Naken tertawa. Ada orang bisa buta arah. Hari pertama belum dimulai pelajaran. Sedang teman semejanya hanya diam menatap kosong dinding kelas.

Naken berangkat pagi-pagi sekali. Ia ingin segera meninggalkan rumahnya yang mewah ini. Keberadaannya dalam rumah ini hanya akan membuatnya teringat pada kedua orang tuanya yang egois. Bahkan sarapan yang telah disiapkan oleh pembantunya sama sekali tidak digubrisnya. Jam segini pasti sekolah masih sepi pikirnya. Memang kelihatannya belum ada yang datang. Hanya dua orang satpam yang baru saja membuka gerbang utama dan seorang tukang kebun. Ia segera melangkah ke kelasnya yaitu lantai dua. Ia tersenyum senang karena memang tebakannya tepat. Segera ia memutar musik bergenre rock. Dengan menguyah tiga permen karet sekaligus, dihentak-hentakan kepalanya mengikuti lagu tersebut. Ia telah terhanyut dalam lagu kesukaannya. Inilah hal yang ia lakukan untuk menghilangkan kepenatan dalam hidupnya. Sembari mengunyah permen karet ia juga meniupnya agar menjadi sebuah balon. Namun belum sempat ia menyelesaikannya, sudah banyak bermunculan gelembung-gelembung sabun dari atas. Nampaknya dari atas atap. Ia segera menghampiri asal gelembung itu.
“Dasar anak kecil!” Teriak Naken. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut gadis itu. “Gak malu sama umur?” Perkataan Naken sama sekali tidak ditanggapinya. Musik rock secara perlahan ia tinggalkan. Ia lebih tertarik melihat Nuki meniup gelembung-gelembungnya. “Sempat-sempatnya beli kaya gitu,” dengan nada mengejek ia kembali bertanya. “Datang pagi-pagi hanya karena niup gelembung?” selidiknya. Ia merasa aneh dengan perilaku temannya itu. “Kura-kura dan langit,” dengan tetap terfokus pada gelembung-gelembungnya yang semakin lama pergi meninggalkanya. Naken sama sekali tidak mengerti ucapan gadis itu.
Anak –anak berhamburan meninggalkan kelas. Namun Nuki masih duduk berdiam diri. Teman semejanya yang sedari tadi ingin pulang kini tidak bergairah lagi. Langkahnya terhenti dan tubuhnya lebih memilih berdiri di samping gadis yang pandangannya menerawang jauh. Gadis itu seperti membeku. Tubuhnya, nafasnya seperti membeku. Bahkan jiwanya seperti tidak menepati raganya.
“Kenapa?” Tanya Naken asal. Nuki hanya menggeleng dan memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Setelah itu ia menarik tasnya kepunggung sambil berjalan tanpa memperhatikan sebelahnya. Ia segera berlari ke atas atap. Untuk kedua kalinya Naken melihat gadis itu meniup gelembung-gelembungnya. Ia nampak asik dengan dunianya. Semua yang ia lakukan seperti ada makna yang terkandung di dalamnya. Namun Naken benar-benar tidak mengerti apa yang dilakukan gadis itu
“Sebenarnya apa yang kamu lakukan?” Ujar Naken. Nuki tidak menjawabnya. Ia terlalu terhipnotis dengan dunianya. Namun selang tujuh menit ia baru menjawab. “Aku sedang menyapanya dengan gelembung-gelembung ini,” jawabannya tidak memberikan kepuasan pada Naken, justru menimbulkan teka-teki baru.

Lagi-lagi yang ditemuinya hanya lima orang pembantunya. Tidak ada yang berubah sejak ia kecil hingga sebesar ini. Tasnya dilemparkan dengan asal dan tubuhnya dihempaskan ke ranjang. Ia mulai memejamkan matanya namun samar-samar masa lalunya yang kelam mulai diingatnya kembali. Pergaulannya yang bebas menjerumuskannya pada benda terlarang yang seharusnya tidak ia kenal. Diumurnya yang baru empat belas tahun menjadikannya anggota termuda dari genk berandalan itu. Posisinya memang cukup ditakuti karena dia menjabat sebagai wakil ketua genk. Kelebihannya dalam bela diri membuatnya ditakuti para bawahannya. Tidak bisa diragukan lagi karena sejak kecil ia telah bergabung dalam klub karate. Dan tidak kaget diusianya yang baru empat belas tahun ia telah memegang sabuk hitam . Hal ini membuatnya dipercaya untuk mengemban jabatan sebagai wakil ketua meskipun banyak yang lebih tua darinya. Sudah genap satu tahun ini ia meninggalkan dunia kelamnya. Masa-masa sulit yang ia jalani ketika melepaskan diri dari gerombolan-gerombolan manusia biadab dan benda haram itu hanya dilakukannya seorang diri. Meskipun anggota genk tersebut masih terus mengincarnya. Hanya ada dua pilihan untuknya, bergabung kembali atau mati. Namun ia tidak memilih keduanya. Ia lebih memilih meninggalkan semuanya dan kembali menjadi dirinya sendiri. Air sower yang mengucur deras di kepalanya sejenak membuat dingin pikirannya. Namun samar-samar segera muncul sosok yang lain. Sosok yang menurutnya sangatlah aneh. Gadis yang berbeda dari gadis lainnya. Terlalu rumit untuk memahaminya. Gadis itu seperti mempunyai dunianya sendiri. Dunia yang tersembunyi.


Mengikuti pelajaran untuk beberapa hari ini baginya sangatlah menjemukan. Ia lebih memilih naik ke atas atap sambil memutar musik kesukaannya. Musik bergenre rock. Tidak lupa tiga permen karet dilahapnya sekaligus. Tubuhnya bersandar pada dinding dengan kepala yang dihentak-hentakkan. Matanya terpejam menghayati latunan musik yang ia putar. Sedang sosok Nuki duduk di depannya sambil menatap langit. Menyadari ada orang lain di dekatnya ia segera membuka mata dan melepas headset yang terpasang ditelinganya. Ia berjalan mendekat namun tetap di belakang Nuki.
“Empat hari gak masuk kelas cuma buat dengerin musik.” Bukan sebuah pertanyaan yang dikatakannya namun lebih pada kesaksian. “Konyol!” Lanjutnya.
“Konyolan mana sama anak SMA yang masih niup gelembung kaya anak TK!” sergah Naken yang kini mengamati teman semejanya. Ia hanya tersenyum. Bukan kepada Naken tetapi lebih tepatnya pada langit. “Gak niup gelembung?” Tanya Naken dengan penasaran. “Lupa bikin. Tapi ini mungkin pertanda dari langit.” Ia masih memandang langit dengan tatapannya yang kosong namun jiwanya seperti mendekat pada langit. Naken mereka-reka apa yang dibicarakan teman semejanya. Namun otaknya tidak menemukan maksud kata-katanya barusan. “Memangnya pertanda apa?” Ujarnya masih tetap memperhatikan gerak-gerik temannya. “Pertanda jika kura-kuraku sebentar lagi akan terbang menyapanya,” jawab Nuki. Percakapan mereka terhenti sampai disitu. Naken tidak berani membahasanya lebih jauh. Ia takut mengganggu dunianya.

Bel sekolah berbunyi. Menandakan waktu sekolah telah usai. Naken tetap duduk sambil menyandarkan tubuhnya pada dinding. Sebenarnya ia menunggu apa yang akan dilakukan teman sebangkunya. Tidak ada percakapan diantara mereka. Dan orang yang diamati sama sekali tidak menyadarinya. Gadis itu hanya berdiam diri masih dengan tatapannya yang menerawang jauh. Wajahnya bertumpu pada tangan kanan sedang tangan kirinya dijentik-jentikan ke meja. Selang beberapa menit ia berjalan menuju atap. Naken mengikutinya. Lagi-lagi yang dilakukannya hanya menatap langit. Seperti semua permasalahannya ia tumpahkan pada langit. Tanpa bicara namun bahasa tubuhnya telah mengisyaratkan bahwa ia sedang berkomunikasi dengan sahabatnya. Langit.
“Sungguh aku tidak dapat mereka apa yang kamu pikirkan. Setiap kali kamu melakukan ritualmu ini aku tidak dapat mengerti apa maksudnya. Mungkin aku dapat menyimpulkan jika kamu menderita autis atau semacamnya, tapi bukan itu yang ingin kuterima. Kamu seperti……… seperti……. Ahh kamu aneh!” Ungkapnya panjang lebar hingga kehabisan kata-kata untuk menggambarkannya. Nuki tidak memberikan tanggapan. Lagi-lagi ia tersenyum. Lebih tepatnya tersenyum pada langit. Selang beberapa menit pandangannya berpaling pada Naken. Bukan kata-kata yang keluar dari mulutnya namun hanya pandangan yang tepat jatuh pada mata Naken. Pandangan itu merasuk kedalam relung jiwanya, tajam, dan menghentakkannya. Ia kemudian berbalik arah meninggalkan Naken. Langkanhya cepat tidak ada keraguan sedang Naken menyusulnya. “Pulang?” Tanya Naken. Hanya dijawab Nuki dengan anggukan. “Kemana?” lanjutnya. Awalnya gadis dihadapanya tiba-tiba berbalik memandangnya dan itu membuatnya sedikit kaget. “Angkring,” namun kemudian gadis itu menanggapi pertanyaannya. “Kampung Angkringan maksudnya?” Kening Naken tiba-tiba berkerut. Sekali lagi dijawab Nuki dengan anggukan. Sebelum menuju Kampung Angkringan mereka harus melewati Jalan Belabakan. Dan ia tahu resiko yang akan dihadapinya. Karena kemukinan besar orang-orang dimasa lalunya akan ada di sepanjang Jalan Blabakan. Namun akal sehatnya sedang tidak berada diposisinya. Ia lebih memikirkan keselamatan temannya. Bagaimanapun juga Nuki adalah seorang perempuan. Meskipun hal ini sudah biasa dihadapi gadis itu saat pulang sekolah. Tapi ia tetap mencemaskan temannya. Keduanya menjadi pusat perhatian para berandalan di sepanjang jalan. Nuki masih saja tenang. Ia tidak sedikitpun merasa takut. Begitu juga dengan Naken. Ia merasa hal seperti ini belum ada apa-apanya ketika ia mengingat saat dulu menjadi anggota genk.
“Gak takut?” ujar Naken.
“Udah biasa.”
“Belum pernahdiganggu?”
“Belum. Ayahku mantan preman disini.”
“Sekarang ayah kamu dirumah?
Ia menggeleng.
“Udah meninggal lima tahun yang lalu.” Suasana kembali hening. Berpasang-pasang mata menatap langkah demi langkah dua bocah berseragam itu. Salah seorang laki-laki melangkah maju mendekati mereka. “Woy….. berhenti loe penghianat!!!!” Dengan suara yang nyaring memekakan telinga. Semuanya ikut berdiri dan menatap tajam Naken. Kata-kata kasar telontar dari mulut mereka. Naken segera menyambar tangan Nuki dan mengajaknya lari secepat mungkin. Sedang berandalan-berandalan itu menyusul bagaikan sekawanan anjing liar.
“Kita mau kemana?” Teriak Nuki.
“Haaaahhh ?”
“Kita mau kemana?” Ulang Nuki dengan nafas yang terengah-engah.
“Terserah kamu aja. Yang penting jangan ketemu mereka,” pinta Naken.
Nuki segera mengambil alih rute lari mereka. Berandalan-berandalan itu cukup tertinggal jauh. Mereka melewati gang-gang sempit. Kemudian tembus ke jalan setapak dan berlari menuju belakang kampus milik swasta. Dibelakang kampus itu ternyata terdapat hutan. Mereka masuk ke dalam hutan itu. Nampaknya hutan ini menjadi tempat persembunyian Nuki. Keduanya lelah, keringat mereka bercucuran kemana-mana. Sebagian besar pohon pinuslah yang menepati hutan ini. Sedang dari sini mereka dapat melihat pemandangan yang menajubkan. Karena hutan ini berada di dataran tinggi.
“Ini pasti tempat ritual kamu”, ucap Naken. Ia sekarang menyadari jika segala tempat yang tinggi pasti akan lebih dekat dengan langit. Dan jika dekat dengan langit maka gadis ini akan menyukainya. “Apa hubungan kamu dengan mereka?” Masih seperti biasa, ia berbicara tanpa sedikitpun melepas pandangannya pada langit. “Bukan siapa-siapa,” jawab Naken sambil lalu. “Jawaban bodoh,” ungkap Nuki remeh.
“Mereka memang bukan siapa-siapa! Memangnya siapa kamu! Berani-beraninya mengatakan seperti itu…..! Dasar autis!” Umpatnya panjang lebar. Sebenarnya tidak ada yang membuatnya marah. Hanya pertanyaan Nuki yang dianggapnya menyimpan nada ejekan akan masa lalunya. Kata-kata yang baru saja terlontar membuatnya malu pada Nuki. Ia segera berlari meninggalkan gadis itu. Ia memang sadar jika Nuki tidak bersalah tapi dirinyalah yang tidak mampu bangkit dari keterpurukan.
Kali ini ia merasa sangat bersalah. Ia merasa sangat bersalah pada gadis itu. Ia sadar bahwa kata-katanya kemarin dapat menyakiti hati siapapun yang mendengarnya. Hari ini ia berencana berangkat pagi-pagi sekali. Mungkin gadis itu sudah ada di atas atap. Seperti biasa sarapan yang telah disiapkan pembantunya sama sekali tidak dihiraukannya. Tebakannya tidak meleset. Nuki sudah berada di atas atap . Ia sedang melakukan ritualnya. Memandang langit. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Namun cara ia memandang langit telah mengisyaratkan jika ia sedang bicara pada langit. Naken hanya duduk mengamati teman semejanya. Sebisa mungkin ia tidak membuat suara yang bisa mengganggu ritual gadis itu. Baginya pertunjukan ini sangatlah menarik. Pertunjukan yang dapat membuatnya sejenak melupakan masalahnya. Tapi tiba-tiba saja Nuki menghentikan ritualnya. Ia berbalik memandang Naken. Bukan ungkapan rasa marah yang diperlihatkannya tapi sekedar melihat keadaan temannya. Naken yang merasa diperhatikan langsung tanggap. Namun ia bingung apa yang harus dilakukan. “Maaf ,“ ucap Naken tiba-tiba saja. Tidak ada tanggapan dari Nuki. Ia hanya diam mematung tanpa ekspresi. Naken semakin bingung. Bingung pada dirinya sendiri juga bingung menghadapi temannya. “Maaf yang kemarin,” perjelas Naken. Nuki kembali menatap langit. Bagaimanapun timbul rasa kecewa pada dirinya karena permintaan maafnya tidak diterima. “Buat apa minta maaf, kata-kata kamu benar,” balas Nuki. “Sekali lagi maaf,” ulang Naken. Pembicaraan mereka sejenak terhenti. Keduanya asik dengan pikiran masing-masing.
Namun pembicaraan mereka berlanjut ketika Naken memulainya kembali, “boleh aku bertanya.” sedang gadis yang diajak bicara seolah-olah tidak menganggap kehadirannya. Apa,” selang lima menit kemudian ia menjawabnya. “Maksud dari kura-kura dan langit, juga ritual yang selama ini kerap kamu lakukan,” pintanya. Naken lega mengatakan semua itu. Meskipun pada akhirnya gadis itu mungkin tidak akan menjawabnya. Nuki menarik napas panjang dan memejamkan matanya. Kemudian kembali menatap sahabatnya langit.
“Ketika aku sendirian tanpa kehadiran orang lain yang mampu menemaniku, memahamiku, menampung keluh kesahku apa salahnya jika aku lebih memilih bersahabat pada langit. Aku lebih mempercayai langit karena aku membenci mereka. Pada mereka yang selalu memasang topeng. Tentu saja dengan wajah yang berbeda-beda. Langit itu luas tentu mereka dapat menampung keluh kesahku. Ini sedikit mengurangi beban hidupku. Dengan begitu semakin cepat kura-kuraku untuk terbang mendekati langit. Tentu saja jika mimpi-mimpiku telah terwujud.” Seketika kata katanya barusan membuat Naken diam ternganga. Semuanya ia ucapkan secara lugas tanpa ditutup-tutupi. Nuki masih tetap memandang langit.
“Bolekah aku menjadi bagian dari langit? Karena aku ingin membantu langit untuk
menampung keluh kesahmu,” ujar Naken. Lagi-lagi Nuki hanya tersenyum kali ini
kepada keduanya. Langit dan Naken. “Terimakasih sahabat kura-kura,” ucap
Naken. Suasana kembali seperti semula. Nuki menjadi seperti biasanya. Asik dengan dunianya. Terlihat raut kecewa pada wajah Naken. Ia pikir sudah ada komitmen antara langit, Nuki, dan dirinya.
“ Kamu itu seharusnya elang,” ungkapnya. “Elang?” Naken tidak mengerti apa yang dikatakan Nuki. “Iya, elang sang penguasa langit. Elang berbeda dengan kura-kura. Elang telah diciptakan oleh Tuhan untuk terbang, tentu saja dengan bermacam-macam kelebihannya. Mata tajamnya, penciumannya, dan kemapuan terbangnya yang tidak tertandingi. Tapi mata kamu hanya terfokus ke belakang. Jadi terbang kamu tak tentu arah bahkan kamu sering terjatuh.” Mendengar perkataan Nuki, angin seperti datang menampar wajahnya, menyambar bulu-bulu kulitnya. Meruntuhkan tulang-tulangnya. Mengombang-ambingkan tubuhnya. Serasa bumi yang ia pijak meletus dengan sangat dahsyat. Memekakan telinganya. Mengobrak-abrikan pikirannya. Ada apa ini? Batin Naken. Panas merebak ke seluruh wajahnya. Tangannya terasa dingin dan wajahnya seperti pucat pasi. Tenaganya seperti terkuras habis.

Semua yang dikatakan Nuki memang pedas. Tapi inilah yang ingin ia dengar. Kata-kata yang ingin ia dengar mengenai dirinya dari seseorang. Kata-kata yang memotivasinya, membuatnya bersemangat menatap masa depan. Dan itu semua ia temukan di dunia ini. Dunia si gadis kura-kura.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About