Gerimis. Tanah yang lama tak disapa hujan memunculkan
aroma yang khas. Kubenahi rambut yang mulai terurai berantakan dari
ikatannya. Lelah dan kantuk menyertai jari-jariku. Layar pada laptoku
menujukkan masih banyak yang harus diselesaikan. Rasanya kepalaku hampir
pecah dikejar detline. Kuteguk kembali kopi yang tak lagi panas dan
perkataan dokter beberapa hari yang lalu terus teriang dalam pikiranku.
Dengan mimik berat ia mengatakan bahwa penyakit ini terus berkembang
dan melesat jauh dari perkiraannya. Bahkan tubuhku sendiri yang menjadi
tempat hidup tak mampu menyadari betapa berangasnya penyakit ini.
Kulepas kacamata dan mengedarkan pandangan pada ruang kerjaku berukuran
6m × 5m yang kudesain sendiri di rumah. Dari kaca jendela samar-samar
dapat kulihat bayangan diriku. Tonjolan-tonjolan tulang tampak jelas
pada tubuhku. Tidak berbeda dengan mayat hidup atau lebih tepatnya
manusia tanpa kehidupan. Dokter bilang penyebab utama penyakit ini
adalah asap rokok, maka semakin banyak aku menghisap obat penenang ini
semakin parah penyakit sialan ini. Ia menyuruhku untuk menghentikannya.
Bagiku ini hal tersulit yang tak mampu kulakukan. Sehari saja tidak
menyentuhnya rasanya tubuhku seperti remuk redam. Seperti hari ini, aku
mencoba untuk berhenti namun aku tak sanggup. Semua pekerjaanku
terbengkelai karena kurasakan sakit pada sekujur tubuhku. Dokter bilang
jika menghentikan kebiasaanku ini akan dapat menambah umur hidupku. Tak
ada ubahnya jika tak mampu menyembuhkanku. Kunyalakan pematik untuk
menyulut api pada rokokku. Pematik ini milik ayah yang tak sengaja ku
bawa. Tidak ada yang khas dari pematik ini. Namun setiap kali
menggunakan pematik ini semua terulang kembali.
Sembilan bulan
aku menunggak. Sudahku pesan jauh-jauh hari untuk dicarikan uang guna
membayar uang bulanan sekolah. Berkali-kali wali kelasku menegur dan
berulang kali wajah ini dicerca pandangan kasihan oleh teman-temannya.
Setelah pulang dari sekolah, kuputuskan untuk pulang ke rumah. Hanya ada
kakek, sedang ayah dan ibu pergi entah kemana. Begitulah kebiasaan
mereka. Pangkat kades membuat mereka menjadi sibuk. Bahkan uang mereka
pun sibuk diberikan pada orang lain. Kami anak-anaknya selalu menjadi
nomer dua. Mereka beralasan sikap mereka seperti itu karena kami
anak-anaknya dilatih untuk hidup mandiri dan menolong orang yang
kesusahan adalah sebuah kewajiban. Setiap kali mendengar alasan mereka
membuatku tertawa getir. Bukankah mereka melakukan hal itu agar
dipandang orang kaya, terhormat di mata orang lain. Padahal sejatinya
keropos. Kedua kakakku memilih diam dan tidak menaggapi alasan mereka.
Ayah dan ibu pulang, aku tidak bertanya kemana mereka pergi. Tidak ada
basa-basi diantara kami. Langsung saja aku meminta uang pada ayah untuk
membayar uang bulanan sekolah.
“Uang apa?” kata beliau sambil membuka kemeja batiknya. Rasanya kepalaku seperti disengat ribuan lebah.
“Uang bulanan sekolah yah”, suaraku lirih menahan emosi. Emosi yang perlahan keluar seperti lelehan lava dari gunung berapi.
“Yang
kemarin itu sudah habis?” Ujar beliau tanpa memandangku. Tubuhnya
direbahkan pada kasur yang menghadap tv. Inilah hal yang tidak kusukai
saat berbicara padanya. Beliau tidak pernah menanggapi dengan serius.
“Uang
bulanan sekolah! Yang kau berikan kemarin hanya uang saku lima puluh
ribu. Itupun aku harus menahan lapar ”. Hampir habis dayaku menahan
auman yang ingin keluar dari pita suaraku.
“Harusnya kamu bilang
dari kemarin. Jangan mendadak seperti ini. Uangnya sudah terlanjur untuk
memenuhi urusan ayah” Dengan tenangnya beliau mengatakan itu semua.
Sungguh aku merasa tersinggung oleh perkataannya. Betapa tidak
pentingnya aku sebagai anaknya. Ia lebih mementingkan urusan politiknya.
“Selalu saja seperti ini. Sudah jauh hari aku memberitahumu.
Bukannya uang itu kau berikan untuk membayar sekolahku tapi malah kau
berikan pada orang-orang yang hanya bersandiwara didepanmu!” Amarahku
tak mampu dibendung lagi.
“Sebenarnya niat tidak menyekolahkanku!!!
Aku sudah menunggak selama sembilan bulan, tidak bisakah mementingkan
anakmu dibandingkan politikmu”! Air mata membasahi pipiku. Suasana
seperti ini bukan kali ini saja terjadi. Bahkan tangannya sering
mendarat dipipiku.
“Jangan pernah bicara kurang ajar padaku! Hanya
karena otakmu encer kau berlagak sombong!” Tangannya sudah terangkat
naik. Namun aku segera berlari. Kukenakan sepatu capungku sambil
menggendong tasku. Gemuruh di dalam dadaku rasanya membuatku sulit
bernapas. Kakek melihat air mataku menetes. Ia mencoba menyusul namun
langkahku terlalu cepat untuk diimbangi.
“Dasar anak tidak tahu
diuntung! Kedua anak kami tidak mempunyai sifat sepertimu! Sifat buruk
yang tidak dimiliki dari keturunan kami!” Serasa disambar petir
mendengar kata-kata itu keluar dari sosok yang melahirkanku.
Gerimis
menghantar kepergianku. Kepergianku yang semakin lama menjauhi
keluargaku. Setiap mengingat perkataan mereka membuat hatiku berdesir
sakit. Aku tidak pernah pulang ke rumah.
Perlakuan mereka padaku
mencerminkan bahwa aku bukanlah darah daging mereka. Terlebih saat
mereka membanding-bandingkanku dengan kedua kakakku. Padahal dibanding
kedua kakakku prestasikulah yang paling bagus. Bahkan aku diterima pada
SMA yang terbilang unggul di kota. Tidak sedikit mereka mengeluh tentang
biaya sekolahku meski telah terbantu oleh beasiswa. Itu semua semakin
memperjelas, aku bukanlah bagian dari mereka. Aku yakin jika uang mereka
tidak digelontorkan begitu saja pada serigala-serigala penjilat, hidup
kami pasti akan sangat berkecukupan.
Melalui teman sekamarku, aku
bekerja paruh waktu pada rumah makan yang tidak begitu besar. Sebulan
aku hanya digaji tiga ratus ribu. Lumayan untuk memenuhi kebutuhan hidup
dan biaya sekolah. Meskipun belum dapat mencukupi semuanya bahkan
sering kali aku harus menekan rasa lapar. Pada awal-awal bulan aku dapat
melakukan semuanya dengan baik. Sekolah dan bekerja dapatku imbangi
dengan baik. Namun semakin lama aku mulai tergoda oleh dunia malam.
Awalnya hanya diajak kerja sebagai pengepul uang taruhan balap motor.
Aku rasa pekerjaan itu tidak terlalu sulit. Hanya mengumpulkan uang
untuk siapa mereka bertaruh. Aku menikmatinya. Selain bekerja aku juga
dapat melihat balap motor. Meskipun balap motor ini ilegal namun itu
satu-satunya hiburan bagiku. Teman-temanku terbilang banyak. Terlebih
lagi laki-laki. Aku memangkas rambutku hingga pendek seperti mereka.
Sebagian dari mereka banyak yang menggunakan obat-obatan terlarang. Aku
sempat ditawari narkoba, sex bebas namun aku tidak tertarik pada itu
semua.Mereka tidak pernah memaksaku untuk mengikutinya. Semuanya
tergantung pada keinginan diri masing-masing. Aku masih bisa berpikir
jernih, bagaiamana aku melangkah menuju masa depanku. Sungguh aku ingin
menunjukkan pada kedua orangtuaku, aku bisa hidup tanpa mereka. Aku bisa
meraih kesuksesanku. Membuat mereka mengakui betapa salahnya membuangku
dari bagian mereka.Tidak dapat dipungkiri jika bergaul dengan mereka
memang membuatku bahagia. Membuatku sejenak melupakan rasa sakit yang
sering menyambangiku saat teringat kedua orang tuaku.
Semakin lama
namaku semakin dikenal. Tentu saja bukan citra gadis murahan. Hubunganku
dengan mereka juga semakin akrab. Untuk menopang biaya hidupku aku
tidak hanya mengandalkan uang dari kerja paruh waktu dan pengepul uang
balab motor. Namun aku kerap mengirim tulisan pada surat kabar. Lumayan
bayarannya untuk setiap karyaku dihargai seratus lima puluh ribu. Dari
sinilah aku mulai gemar menulis. Bakatku memang berada di bidang itu.
Tidak salah jika aku memilih jurusan bahasa. Hari-hariku berlangsung
dengan padat. Rokoklah yang menjadi pelampiasan saat lelah dan penat
menjalariku. Dan pematik ini mulai berfungsi sebagai mestinya. Dua tahun
berlalu. Menjelang ujian datang aku mulai mengurangi dunia malam.
Banyak teman-temanku yang menanyakan keberadaanku. Aku mundur perlahan
dari pergaulan mereka. Bahkan saat malam minggu datang aku pun tidak
ikut berkumpul bersama mereka. Aku lebih memilih belajar, memulai
berlari menuju masa depanku. Namun tetap, aku tidak dapat lepas dari
mengfusikan pematik ini. Dalam sehari aku dapat menghabiskan dua bungkus
rokok. Ini yang kerap kali membuatku kesal. Aku tahu jika ini tidak
baik untuk kesehatanku. Namun setiap kali aku mencoba berhenti, rasanya
sekujur tubuhku serasa remuk redam. Hasil ujianku sangat memuaskan. Aku
memperoleh peringkat pertama. Bahkan keberuntunganku tidak sampai disitu
saja. Aku diterima di universitas ternama dengan jalur undangan. Dengan
senang hati aku menerimanya. Semasa kuliah aku yang tertutup dan enggan
berbaur membuatku dijauhi oleh teman. Namun itu membuatku lebih fokus
pada kuliah. Tiga setengah tahun waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan kuliahku. Menjadi penulis adalah impianku sejak dulu. Maka
untuk memulai karir seorang penulis aku melamar pekerjaan di salah satu
penerbit. Tiga tahun aku menjadi bawahan dan mengikuti perintah
atasanku. Butuh kesabaran lebih untuk menjalaninya. Setelah masa-masa
sulit yang ku alami akhirnya aku dapat memetik buah keberhasilan. Bosku
mempercayaiku sebagai pimpinan editor. Memimpin sebuah tim bukanlah
pekerjaan yang mudah. Butuh cukup waktu lama untuk membuatnya solid.
Karirku menanjak dengan cepat. Seiring waktu berjalan aku merangkap
menjadi penulis novel.
Suara riuh terdengar saat aku memasuki
pintu kantor. “Selamat ya Bu”, ucap Rini asistenku sambil membawa kue
ulang tahun lengkap dengan lilin yang menyala dan bertuliskan namaku.
Diikuti yang lain sambil masing-masing menyerahkan bunga mawar berpita
biru. Warna kesukaanku. Kemudian mereka memnyuruhku menutup mata untuk
melakukan make wish sekaligus meniup lilin. Usiaku genap dua puluh tujuh
tahun. Sangat matang untuk berumah tangga. Dulu ibu dan aku selalu
berkhayal bagaimana masa depanku nanti. Ia memintaku menikah diusia dua
puluh lima tahun dan aku menolak. Bagiku diusia itulah wanita
giat-giatnya dalam berkarir. Aku memilih umur dua puluh tujuh tahun
untuk menikah. Awalnya beliau terus menyanggah namun ia menyerah dan itu
menjadi kesepakatan kami. Itu hanya masa lalu dan tidak akan pernah
terjadi. Tuhan telah menghukumku. Dokter bilang operasi dan kemoterapi
tidak menjamin sembuhnya penyakit sialan ini. Lalu untuk apa kulakukan
jika kematian akan tetap berada di depan mataku. Aku tidak menyalahkan
Tuhan jika ia menghukumku. Lagipula aku telah lelah pada kehidupan ini
dan aku tak sanggup menemui mereka, kedua orang tuaku. Bahkan setelah
mobil mewah dan rumah dengan harga selangit dapat kumiliki sebagai bukti
pencampaianku, aku tetap tak sanggup. Aku tak sanggup menemui mereka
dengan membawa hukuman yang Tuhan berikan kepadaku. Karena aku tak ingin
melihat rintik air mata dari mereka. Biarkan rintik gerimis yang
menghantar kepergianku seperti dikala aku pergi dari mereka.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar