Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 02 Februari 2015

Gerimis Menghantar Kepergianku

Gerimis. Tanah yang lama tak disapa hujan memunculkan aroma yang khas. Kubenahi rambut yang mulai terurai berantakan dari ikatannya. Lelah dan kantuk menyertai jari-jariku. Layar pada laptoku menujukkan masih banyak yang harus diselesaikan. Rasanya kepalaku hampir pecah dikejar detline. Kuteguk kembali kopi yang tak lagi panas dan perkataan dokter beberapa hari yang lalu terus teriang dalam pikiranku. Dengan mimik berat ia mengatakan bahwa penyakit ini terus berkembang dan melesat jauh dari perkiraannya. Bahkan tubuhku sendiri yang menjadi tempat hidup tak mampu menyadari betapa berangasnya penyakit ini. Kulepas kacamata dan mengedarkan pandangan pada ruang kerjaku berukuran 6m × 5m yang kudesain sendiri di rumah. Dari kaca jendela samar-samar dapat kulihat bayangan diriku. Tonjolan-tonjolan tulang tampak jelas pada tubuhku. Tidak berbeda dengan mayat hidup atau lebih tepatnya manusia tanpa kehidupan. Dokter bilang penyebab utama penyakit ini adalah asap rokok, maka semakin banyak aku menghisap obat penenang ini semakin parah penyakit sialan ini. Ia menyuruhku untuk menghentikannya. Bagiku ini hal tersulit yang tak mampu kulakukan. Sehari saja tidak menyentuhnya rasanya tubuhku seperti remuk redam. Seperti hari ini, aku mencoba untuk berhenti namun aku tak sanggup. Semua pekerjaanku terbengkelai karena kurasakan sakit pada sekujur tubuhku. Dokter bilang jika menghentikan kebiasaanku ini akan dapat menambah umur hidupku. Tak ada ubahnya jika tak mampu menyembuhkanku. Kunyalakan pematik untuk menyulut api pada rokokku. Pematik ini milik ayah yang tak sengaja ku bawa. Tidak ada yang khas dari pematik ini. Namun setiap kali menggunakan pematik ini semua terulang kembali.

Sembilan bulan aku menunggak. Sudahku pesan jauh-jauh hari untuk dicarikan uang guna membayar uang bulanan sekolah. Berkali-kali wali kelasku menegur dan berulang kali wajah ini dicerca pandangan kasihan oleh teman-temannya. Setelah pulang dari sekolah, kuputuskan untuk pulang ke rumah. Hanya ada kakek, sedang ayah dan ibu pergi entah kemana. Begitulah kebiasaan mereka. Pangkat kades membuat mereka menjadi sibuk. Bahkan uang mereka pun sibuk diberikan pada orang lain. Kami anak-anaknya selalu menjadi nomer dua. Mereka beralasan sikap mereka seperti itu karena kami anak-anaknya dilatih untuk hidup mandiri dan menolong orang yang kesusahan adalah sebuah kewajiban. Setiap kali mendengar alasan mereka membuatku tertawa getir. Bukankah mereka melakukan hal itu agar dipandang orang kaya, terhormat di mata orang lain. Padahal sejatinya keropos. Kedua kakakku memilih diam dan tidak menaggapi alasan mereka. Ayah dan ibu pulang, aku tidak bertanya kemana mereka pergi. Tidak ada basa-basi diantara kami. Langsung saja aku meminta uang pada ayah untuk membayar uang bulanan sekolah.
“Uang apa?” kata beliau sambil membuka kemeja batiknya. Rasanya kepalaku seperti disengat ribuan lebah.
“Uang bulanan sekolah yah”, suaraku lirih menahan emosi. Emosi yang perlahan keluar seperti lelehan lava dari gunung berapi.
“Yang kemarin itu sudah habis?” Ujar beliau tanpa memandangku. Tubuhnya direbahkan pada kasur yang menghadap tv. Inilah hal yang tidak kusukai saat berbicara padanya. Beliau tidak pernah menanggapi dengan serius.
“Uang bulanan sekolah! Yang kau berikan kemarin hanya uang saku lima puluh ribu. Itupun aku harus menahan lapar ”. Hampir habis dayaku menahan auman yang ingin keluar dari pita suaraku.
“Harusnya kamu bilang dari kemarin. Jangan mendadak seperti ini. Uangnya sudah terlanjur untuk memenuhi urusan ayah” Dengan tenangnya beliau mengatakan itu semua. Sungguh aku merasa tersinggung oleh perkataannya. Betapa tidak pentingnya aku sebagai anaknya. Ia lebih mementingkan urusan politiknya.
“Selalu saja seperti ini. Sudah jauh hari aku memberitahumu. Bukannya uang itu kau berikan untuk membayar sekolahku tapi malah kau berikan pada orang-orang yang hanya bersandiwara didepanmu!” Amarahku tak mampu dibendung lagi.
“Sebenarnya niat tidak menyekolahkanku!!! Aku sudah menunggak selama sembilan bulan, tidak bisakah mementingkan anakmu dibandingkan politikmu”! Air mata membasahi pipiku. Suasana seperti ini bukan kali ini saja terjadi. Bahkan tangannya sering mendarat dipipiku.
“Jangan pernah bicara kurang ajar padaku! Hanya karena otakmu encer kau berlagak sombong!” Tangannya sudah terangkat naik. Namun aku segera berlari. Kukenakan sepatu capungku sambil menggendong tasku. Gemuruh di dalam dadaku rasanya membuatku sulit bernapas. Kakek melihat air mataku menetes. Ia mencoba menyusul namun langkahku terlalu cepat untuk diimbangi.
“Dasar anak tidak tahu diuntung! Kedua anak kami tidak mempunyai sifat sepertimu! Sifat buruk yang tidak dimiliki dari keturunan kami!” Serasa disambar petir mendengar kata-kata itu keluar dari sosok yang melahirkanku.
Gerimis menghantar kepergianku. Kepergianku yang semakin lama menjauhi keluargaku. Setiap mengingat perkataan mereka membuat hatiku berdesir sakit. Aku tidak pernah pulang ke rumah.
Perlakuan mereka padaku mencerminkan bahwa aku bukanlah darah daging mereka. Terlebih saat mereka membanding-bandingkanku dengan kedua kakakku. Padahal dibanding kedua kakakku prestasikulah yang paling bagus. Bahkan aku diterima pada SMA yang terbilang unggul di kota. Tidak sedikit mereka mengeluh tentang biaya sekolahku meski telah terbantu oleh beasiswa. Itu semua semakin memperjelas, aku bukanlah bagian dari mereka. Aku yakin jika uang mereka tidak digelontorkan begitu saja pada serigala-serigala penjilat, hidup kami pasti akan sangat berkecukupan.
Melalui teman sekamarku, aku bekerja paruh waktu pada rumah makan yang tidak begitu besar. Sebulan aku hanya digaji tiga ratus ribu. Lumayan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolah. Meskipun belum dapat mencukupi semuanya bahkan sering kali aku harus menekan rasa lapar. Pada awal-awal bulan aku dapat melakukan semuanya dengan baik. Sekolah dan bekerja dapatku imbangi dengan baik. Namun semakin lama aku mulai tergoda oleh dunia malam. Awalnya hanya diajak kerja sebagai pengepul uang taruhan balap motor. Aku rasa pekerjaan itu tidak terlalu sulit. Hanya mengumpulkan uang untuk siapa mereka bertaruh. Aku menikmatinya. Selain bekerja aku juga dapat melihat balap motor. Meskipun balap motor ini ilegal namun itu satu-satunya hiburan bagiku. Teman-temanku terbilang banyak. Terlebih lagi laki-laki. Aku memangkas rambutku hingga pendek seperti mereka. Sebagian dari mereka banyak yang menggunakan obat-obatan terlarang. Aku sempat ditawari narkoba, sex bebas namun aku tidak tertarik pada itu semua.Mereka tidak pernah memaksaku untuk mengikutinya. Semuanya tergantung pada keinginan diri masing-masing. Aku masih bisa berpikir jernih, bagaiamana aku melangkah menuju masa depanku. Sungguh aku ingin menunjukkan pada kedua orangtuaku, aku bisa hidup tanpa mereka. Aku bisa meraih kesuksesanku. Membuat mereka mengakui betapa salahnya membuangku dari bagian mereka.Tidak dapat dipungkiri jika bergaul dengan mereka memang membuatku bahagia. Membuatku sejenak melupakan rasa sakit yang sering menyambangiku saat teringat kedua orang tuaku.
Semakin lama namaku semakin dikenal. Tentu saja bukan citra gadis murahan. Hubunganku dengan mereka juga semakin akrab. Untuk menopang biaya hidupku aku tidak hanya mengandalkan uang dari kerja paruh waktu dan pengepul uang balab motor. Namun aku kerap mengirim tulisan pada surat kabar. Lumayan bayarannya untuk setiap karyaku dihargai seratus lima puluh ribu. Dari sinilah aku mulai gemar menulis. Bakatku memang berada di bidang itu. Tidak salah jika aku memilih jurusan bahasa. Hari-hariku berlangsung dengan padat. Rokoklah yang menjadi pelampiasan saat lelah dan penat menjalariku. Dan pematik ini mulai berfungsi sebagai mestinya. Dua tahun berlalu. Menjelang ujian datang aku mulai mengurangi dunia malam. Banyak teman-temanku yang menanyakan keberadaanku. Aku mundur perlahan dari pergaulan mereka. Bahkan saat malam minggu datang aku pun tidak ikut berkumpul bersama mereka. Aku lebih memilih belajar, memulai berlari menuju masa depanku. Namun tetap, aku tidak dapat lepas dari mengfusikan pematik ini. Dalam sehari aku dapat menghabiskan dua bungkus rokok. Ini yang kerap kali membuatku kesal. Aku tahu jika ini tidak baik untuk kesehatanku. Namun setiap kali aku mencoba berhenti, rasanya sekujur tubuhku serasa remuk redam. Hasil ujianku sangat memuaskan. Aku memperoleh peringkat pertama. Bahkan keberuntunganku tidak sampai disitu saja. Aku diterima di universitas ternama dengan jalur undangan. Dengan senang hati aku menerimanya. Semasa kuliah aku yang tertutup dan enggan berbaur membuatku dijauhi oleh teman. Namun itu membuatku lebih fokus pada kuliah. Tiga setengah tahun waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan kuliahku. Menjadi penulis adalah impianku sejak dulu. Maka untuk memulai karir seorang penulis aku melamar pekerjaan di salah satu penerbit. Tiga tahun aku menjadi bawahan dan mengikuti perintah atasanku. Butuh kesabaran lebih untuk menjalaninya. Setelah masa-masa sulit yang ku alami akhirnya aku dapat memetik buah keberhasilan. Bosku mempercayaiku sebagai pimpinan editor. Memimpin sebuah tim bukanlah pekerjaan yang mudah. Butuh cukup waktu lama untuk membuatnya solid. Karirku menanjak dengan cepat. Seiring waktu berjalan aku merangkap menjadi penulis novel.

Suara riuh terdengar saat aku memasuki pintu kantor. “Selamat ya Bu”, ucap Rini asistenku sambil membawa kue ulang tahun lengkap dengan lilin yang menyala dan bertuliskan namaku. Diikuti yang lain sambil masing-masing menyerahkan bunga mawar berpita biru. Warna kesukaanku. Kemudian mereka memnyuruhku menutup mata untuk melakukan make wish sekaligus meniup lilin. Usiaku genap dua puluh tujuh tahun. Sangat matang untuk berumah tangga. Dulu ibu dan aku selalu berkhayal bagaimana masa depanku nanti. Ia memintaku menikah diusia dua puluh lima tahun dan aku menolak. Bagiku diusia itulah wanita giat-giatnya dalam berkarir. Aku memilih umur dua puluh tujuh tahun untuk menikah. Awalnya beliau terus menyanggah namun ia menyerah dan itu menjadi kesepakatan kami. Itu hanya masa lalu dan tidak akan pernah terjadi. Tuhan telah menghukumku. Dokter bilang operasi dan kemoterapi tidak menjamin sembuhnya penyakit sialan ini. Lalu untuk apa kulakukan jika kematian akan tetap berada di depan mataku. Aku tidak menyalahkan Tuhan jika ia menghukumku. Lagipula aku telah lelah pada kehidupan ini dan aku tak sanggup menemui mereka, kedua orang tuaku. Bahkan setelah mobil mewah dan rumah dengan harga selangit dapat kumiliki sebagai bukti pencampaianku, aku tetap tak sanggup. Aku tak sanggup menemui mereka dengan membawa hukuman yang Tuhan berikan kepadaku. Karena aku tak ingin melihat rintik air mata dari mereka. Biarkan rintik gerimis yang menghantar kepergianku seperti dikala aku pergi dari mereka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About