![]() |
“Menjadi orang dewasa tidak hanya pada ukuran tubuh namun pikiran yang
selalu terus tumbuh. Menjadi orang dewasa terkadang harus merelakan
orang yang disayangi demi kebahagiaan mereka. Tak peduli betapa sakitnya
namun tetap harus dilakukan. Bahkan kita harus mementingkan kebahagian
mereka tanpa pernah berpikir apakah kita sudah bahagia.”
Mereka tidak pernah bertanya bagaimana perasaanku, yang mereka lakukan hanyalah memikirkan ego masing-masing. Suara gelas pecah, pintu dibanting dan auman yang keluar dari pita suara mereka telah menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang selalu mereka lakukan didepan mataku. Aku mencoba tetap tenang di mata mereka dan tembok yang kubuat sendiri dari pedih serta kekecewaan akan selalu kutegakkan saat mereka melakukan kebiasaan itu. Sampai sekarang diumurku yang kedelapan belas tahun kebiasaan mereka belum juga hilang. Dan puncaknya sekarang.
“Sudah jelas bukan! Kamu itu laki-laki gak bertanggung jawab! Semua hutang-hutangmu kamu bebankan kepadaku! Kalau bukan demi Keren putriku sudah dari dulu aku pergi dari rumah ini!!” Kata-kata itu terlontar dari mulut ibuku. Beliau selalu menangis saat melakukan kebiasaan ini. Mungkin kebanyakan wanita memang seperti itu. “Kamu itu belagu sekali! Memangnya dari dulu kamu dapat uang dari mana kalau bukan uangku! Heh dari mana? Sekolah Keren, kebutuhan sehari-hari dari mana?! Kamu itu istri kurangajar gak pernah hormat sama suami!” Ayah lebih kuat. Beliau tidak menangis. “Jangan bilang solah-olah kamu tulang punggung keluarga. Sekolah Keren, kebutuhan sehari-hari itu semua karena usahaku. Utang kesana sini tanpa pernah minta bantuan kamu. Kerjaan kamu itu cuman tidur! Kamu bisa apa? Ngandalin harta orang tua kan?!” Perkataan ibu barusan menambah emosi ayah. Ia mencakar wajah ibu dan tak luput dari kata-kata kasar ia keluarkan. Ibu berlari ketakutan dan ayah terus mengejar. Di depan pintu kamarkulah mereka kembali meneruskan perang mulut. Sekali lagi ayah memukul ibu dan seketika itu jeritan perempuan merebak ke seluruh ruangan. Tembok yang ku bangun selama ini runtuh seketika. Dengan cepat kuraih ganggang pintu. Vas bunga yang berada di meja kuraih dan kuhempaskan di depan mereka. “Pergi kalian dari rumah ini’! teriakku sekeras-kerasnya.Tanpa melihat mereka, kubalikkan tubuhku dan ku banting pintu sekencang-kencangnya. Sebenarnya kekerasan juga sering terjadi namun tidak seperti kali ini. Kupasang heandsheet pada telinga dan kuputar lagu bergenre rock. Ini yang selalu kulalukan jika penat menghantuiku. Suara pintu diketuk. Aku tahu sekarang ia sudah berada tepat di belakangku. Tangannya membelai rambutku.
“Kamu pasti tahu mama sama papa setiap hari bertengkar terus. Seminggu lagi mama akan terbang ke Kalimantan ikut saudara mama. Disana mama bakalan cari uang untuk biaya sekolah kamu. Sekarang kamu sudah kelas tiga dan sebentar lagi kuliah. Kalau cuma ngandalin papa kamu, mana mungkin bisa! Keren kamu dengar kata-kata mama kan? Mama yakin kamu pasti dengar.” Aku memang mendengar semuanya. Tujuh menit yang lalu setelah pintu diketuk, lagu yang kuputar memang sengaja kumatikan. Ternyata benar, seminggu kemudian mama berangkat ke Kalimantan. Disaat detik-detik kepergiannya aku tidak datang menemuinya. Memang sengaja aku mengasingkan diri di kost. Aku tak mampu menyaksikan semuanya. Mengikhlaskan orang yang kusayangi menjauh dariku. Mama bilang keluarga ini tidak bisa disebut broken home karena beliau pergi untuk membantu ayah mencari uang. Bagiku hal ini sama saja, hati mereka tidak lagi satu. Hal semacam ini kupikir tidak akan terjadi kepadaku. Mereka pasti bisa melakukannya demi aku, ternyata tidak.
Setelah kepergian mama aku semakin mandiri. Namun tidak ada yang berubah dari papa, ia masih saja malas-malasan. Bahkan saat aku pulang seperti biasa di hari Minggu, papa masih belum bangun dari tidurnya. Sampah berserakan dimana-mana. Cucian piring menumpuk dan makanan-makanan basi memenuhi meja makan. Keadaan ini menggambarkan papa sangat terpuruk. Setelah minggu kedua dan minggu-minggu selanjutnya aku jarang pulang ke rumah. Aku menutup mata pada keadaan ini. Pikiranku hanya terpusat pada sekolah. Aku terus belajar dan tidak memikirkan hal-hal buruk tentang hidupku namun perlahan nilaiku turun dan peringkatku hampir berada dibawah. Entah apa yang terjadi, pada kenyataannya aku memang tidak benar-benar menutup mata pada keadaan ini. Pikiran-pikiran buruk terus melintas dipikiranku dan itu tidak mampu kukendalikan. Pikiran-pikiran buruk itu menyimpulakan bahwa aku membenci mereka. Bahkan aku tidak menerima telpon dari mama untuk pertama kalinya setelah ia berada di Kalimantan. Begitupun dengan ayah. Meski kami berada di kota yang sama namun tidak ada komunikasi diantara kami. Semuanya semakin terasa asing, bagaikan hidup dalam negeri perantauan.
Waktu berjalan begitu cepat, namun tidak ada yang berubah. Yang berbeda hanya statusku sebagai mahasiswa semester sembilan. Saat-saat dimana umumnya seorang wanita sudah menemukan laki-laki yang dicintainya. Sejujurnya aku juga ingin begitu. Sering aku merasa iri pada teman-temanku yang membawa kekasih mereka. Namun bagaiamana lagi, merekalah yang menorehkan luka ini. Aku takut pertengkaran mereka yang telah menjadi kebiasaan akan menurun kepadaku kelak ketika aku berumah tangga, seperti penyakit-penyakit bawaan. Hari ini kami mengadakan kamping bersama. Maksudku mereka mengadakan kamping bersama. Sejujurnya aku tidak ingin bergabung dalam kamping ini. Alasan satu-satunya aku tidak ingin bergabung karena Ferel juga ikut, ia anak fakultas geografi. Secara tidak langsung diantara kami berkibar bendera perang. Aku mengenalnya sewaktu KKN. Namun karena sahabatku Lila yang terus saja memaksaku untuk ikut, mau bagaiamana lagi. Aku tahu ini akan menjadi neraka bagiku, karena kekasih Lila adalah sahabat dekat Ferel. Maka intensitas kami berkumpul akan lebih sering. Terlebih saat Lila berada didekat Abdi kekasihnya, bagaimanapun aku juga harus menemaninya. Malam ini diisi dengan berkumpul mengelilingi api unggun. Semua tertawa ketika mendengar cerita-cerita lucu dari Ferel. Harus kuakui ceritanya memang sangat lucu. Namun untuk mempertahankan gengsiku sebisa mungkin kutahan agar tidak tertawa.
“Eh loe gak bisa banget sih diajak bercanda. Dari tadi diem aja! Sakit gigi loe ya!” Entah sampai kapan ia akan membuatku jengkel seperti ini.
“Eh suka-suka gue dong. Loe ngapa ribet banget ngurusin gue!” Yang lain sontak tertawa mendengar perkataanku.
“Idih siapa yang ngurusin loe. Gue tu cuma.............,” belum sempat ia merampungkannya, sudah dipotong oleh Danu. “Udah loe berdua kalo sama-sama seneng langsung aja jadian,” semuanya memang tahu kalau kami tidak akur. Maka mereka sering menggoda kami seperti ini.
“Iya loe Rel gak jentel banget jadi cowok. Kemarin aja loe nyuruh gue bilang ke........,” ucap Abdi namun tertahan setelah melihat kepalan tangan dari Ferel. “Ngomong apa barusan? Mau gue bongkar rahasia loe!” aku sering tidak mengerti apa yang mereka bincangkan. Namun nampaknya mereka memang berjanji untuk menjaga rahasia satu sama lain.
“Loe barusan mau ngomong apa Di? Kagak usah takut sama dia,” aku memang merasa sedikit penasaran. Aku hanya takut jika Ferel merencanakan sesuatu untuk mengerjaiku seperti dulu.
“Eh apaan loe kepo banget jadi orang! Ini itu urusan laki-laki, kagak tahu loe urusan kaya beginian,” sanggah Ferel. Entah apa yang direncanakannya. Malam ini dilanjutkan dengan main kartu. Yang kalah harus bersedia untuk dicoreng dengan bedak. Sedikit kuno memang, tapi ini mengasikan awalnya sebelum Ferel merusak suasana hatiku.
“Loe curang ya! Mosok udah sebelas kali loe menang dengan nilai paling tinggi terus gue yang dari tadi kalah!” Selidikku dengan wajah penuh coreng moreng.
“Ogah banget main beginian curang, apalagi mainnya cuma sama loe!” Aku tahu ia tadi mengatakannya dengan menyunggingkan senyum liciknya.
Perdebatan kami selesai sampai disini. Aku keluar dan tidak melanjutkan permainan ini. Aku, Lila, dan Tina tidur lebih awal sedang yang lain masih asyik bermain kartu. Entah karena tidur lebih awal sehingga aku terbangun dari tidurku. Dari balik tenda terlihat cahaya api masih bersinar. Karena takut jika apinya merebak dan terjadi kebakaran maka aku memeriksanya. Ternyata si kacrut Ferel masih ada disana. Belum sempat aku melarikan diri dari pandangannya ia sudah menoleh.
“Apa loe lia-liat!” Spontan kata-kata itu yang terlontar dari mulutku. Dapat kupastikan ia tertawa mendengarnya.
“Galak banget sih loe jadi cewek? Gak takut jadi perawan tua?”
“Bodo! Khusus buat loe gue harus galak! Udah ah gue mau tidur!” Ia memandangku aneh sekali dan itu juga membuatku aneh.
“Eh loe gak mau lihat matahari terbit? Bentar lagi mataharinya bakalan terbit soalnya disini terbitnya lebih awal,” aku sempat kaget. Bahkan dipenghujung kalimatnya ia menyunggingkan senyum padaku. Entahlah kenapa aku mau menerima tawarannya untuk melihat matahari terbit dan tanpa sadar aku kini sudah duduk disebelahnya.
“Ren kenapa loe kok kalo sama gue galak banget?” Aku berlagak bodoh pada pertanyaan barusan. “Loe gak tahu julukan loe di kampus apa?”
“Gue tahu. Mak Lampirkan..... terus kenapa emangnya,” timpalku. Ia kembali tertawa, ada nada ejekan disana.
“Nah gini loe tahu. Jadi cewek itu jangan galak-galak. Lagian kenapa sih loe galak cuma sama cowok kenapa gak sama cewek juga,” aku tidak mengerti kemana arah pembicaraan ini. Apa ia mencoba menasehatiku.
“Gue gak tahu Rel arah pembicaraan kita kemana. Tapi asal loe tahu gue gak suka sama kaum loe. Ya.... gue ngerasa cowok di dunia ini itu semua brengsek. Kaya papa gue dan gue selalu takut jika ngebayangin sikap papa gue ke mama. Loe gak pernah tahu apa yang gue rasaain Rel. Keluarga loe utuh dan mungkin loe dari keluarga yang berada,” entah sejak kapan hal ini tersimpan dalam-dalam dilubuk hatiku. Semua berceceran keluar begitu saja.
“Loe salah Ra. Gak semua cowok kaya gitu. Hidup ini emang keras. Maka dari itu kita harus menantangnya agar kita bisa bertahan hidup dan semua yang terjadi sama loe, harus loe jalani dengan ikhlas,”ungkapnya dengan tak henti-hentinya menatapku tajam.
“Gampang banget loe ngomong. Gue ngerasa orang-orang disekeliling gue ninggalin gue hanya untuk ngejar kebahagiaan mereka. Dan mereka itu egois gak pernah peduli sama kebahagiaan gue,” air mata tak mampu kutahan lagi. Mereka keluar bak air bah.
“Ren coba loe lihat matahari yang terbit itu. Kalau bulan gak pernah rela untuk melepas malamnya, maka gak akan ada matahari yang kita lihat sekarang. Begitupun juga dengan matahari, mungkin kita gak akan pernah bisa ngerasaain malam.” Aku masih belum mengerti apa yang dikatakannya barusan. “Kalau kamu gak pernah ikhlas untuk merelakan orang yang kamu sayangi untuk kebahagiaan mereka, maka kamu juga gak akan pernah ngerasaain yang namanya bahagia. Tapi jika kamu ikhlas dan menerimanya maka nanti akan ada orang yang merelakan kamu untuk meraih kebahagiaanmu. Entah itu kapan. Tapi itu pasti akan terjadi.”
Semua perkataannya memang benar. Selama ini akulah yang terlalu egois. Aku selalu menganggap diriku benar. Karena sesungguhnya menjadi orang dewasa ternyata tidak hanya pada ukuran tubuh namun pikiran yang selalu terus tumbuh. Menjadi orang dewasa terkadang harus merelakan orang yang disayangi demi kebahagiaan mereka. Tak peduli betapa sakitnya namun tetap harus dilakukan. Bahkan kita harus mementingkan kebahagian mereka tanpa pernah berpikir apakah kita sudah bahagia. Namun dapat dipastikan semua akan kembali kepada kita.
“Dan sekarang orang yang duduk disampingku....., orang yang aku sayangi harus bisa meraih kebahagiaannya,” kata-katanya sontak membuatku kaget dan itu mampu membuat wajahku bersemu merah bahkan jantungku hampir lepas dari tubuhku. Entah arti kata-katanya barusan sama dengan yang aku artikan atau tidak. Tapi wajahnya bersemu merah seperti wajahku dan senyumnya terus mengembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar