
”Sebuah pengalaman yang menyenangkan. Kala itu
aku dan temanku tidak merencanakan perjalanan ini, namun ada hasrat yang
tiba-tiba saja membuat kami memutuskan berjalan kaki disekitar permukiman kumuh
yang dahulunya pernah mendapat penghargaan sebagai kampung ramah lingkungan di
sekitar bantaran sungai. Yang menarik saat itu adalah melihat perempuan senja
sedang menjajakan mainan tradhisional kepada anak-anak yang bermukim di tepi
bantaran sungai. Namun sayang, anak-anak itu hanya melihat sekilas kemudian
kembali asyik dengan permainan mereka. Sambil mengeluarkan botol air mineral
bekas yang mungkin telah beliau isi berulang kali dengan air, beliau meletakkan
bakul dan duduk di bendungan bantaran sungai. Lantas diteguknya air itu. Kemudian
kami sengaja menghampirinya. “Berapaan ini mbah?” tanyaku. “Nak yang itu dua
ribu, yang ini kinciran juga dua ribu”, jawab beliau. Kulitnya yang sedikit
kecoklatan mencerminkan bahwa beliau terlalu sering berada di bawah terik
matahari. “Ini buat sendiri apa jenengan kulak mbah”, tanyaku dengan penuh
ketertarikan. “Semua buat sendiri mbak,
didusun saya banyak pengrajin mainan tradhisional seperti ini. Tapi semuanya
sudah tua-tua. Saya bikin ini dulu diajarin sama ibu saya, waktu itu saya masih
kecil, masih banyak londo mbak”, jelasnya seperti kebanyakan orang tua, jika
ditanya akan dijawab dengan begitu lengkapnya tanpa harus kita bertanya
satu-satu. “Jenengan namanya siapa
Mbah?” Lagi-lagi aku bertanya. “Mijem mbak..... Mbah Mijem “, jawab beliau
dengan senyum ramah yang menghiasi wajahnya. Aku senang menatap beliau meskipun
kami baru kali ini bertemu. Sosok perempuan jawa benar-benar tercermin pada
diri beliau. Rambut
yang
masih digelung apa adanya, dengan busana jarik dan kebaya. Menemukan perempuan
yang berpakaian demikian di zaman sekarang memang jarang. Paling tidak mereka
berpakaian seperti itu karena ada suatu perayaan atau hari-hari
tertentu.
Meskipun ada beberapa perempuan disekitar tempat tinggalku masih
berpakaian seperti itu, namun hanya mereka yang berusia senja seperti Mbah Mijem.
“Jenegan tinggalnya sama siapa mbah, sendiri atau dengan anaknya?“ jujur aku menyadari pertanyaanku memang semakin menjorok kearah pribadi beliau, namun aku memang benar-benar ingin mengenal sosok beliau lebih dalam. “Saya tinggalnya sendiri, anak saya di paran semua. Sudah punya keluarga sendiri-sendiri mbak,” ucap beliau sambil menyampirkan kain jarik kepundaknya. “Jenengan itu sudah sepuh kok masih berjualan seperti ini to mbah”, tanyaku hati-hati agar beliau tidak tersinggung. Namun dugaanku meleset jauh, beliau menjawab pertanyaaku sama sekali tidak ada nada tersinggung justru beliau malahtertawa. “Sampeyan itu yo lucu mbak, yang namanya jualan seperti ini ya buat cari rejeki, walaupun sudah tua ya kalau masih kuat kenapa tidak. Gusti Allah ngasih mata, kaki, tangan, pikiran itu buat digunakan. Jangan tergantung sama orang lain mbak, apalagi sampai minta-minta. Walaupun sudah tua jangan sampai minta-minta, wong sudah dikasih kelebihan sama Gusti Allah kok gak mau berusaha. Dosa itu mbak. Saya buat mainan kaya gini meskipun dikit-dikit ya laku. Yang penting ada usaha mbak. Gusti Allah paring rejeki itu karo wong sing berusaha mbak,” kata-kata yang beliau ucapakan sungguh mengena kepada siapa saja yang mendengarnya. Seperti aku yang saat itu mematung disampingnya. Kesederhanaan yang terdapat dalam diri beliau memancarkan kebahagiaan tersendiri, yang entah mengapa aku pun juga ikut merasakannya. “Jenengan bisa nyanyi gak mbah”, gurauku. Beliau lagi-lagi tertawa. “Ya bisa..... nak wong jawa namanya nembang. Apa yaa… tembang Lir ilir wae yo.
Lir-ilir,
lir-ilir
Tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten
anyar
Cah angon-cah angon penekno blimbing
kuwi
Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh
dodotiro
Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing
pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo
mengko sore
Mumpung padhang rembulane,
mumpung jembar kalangane
Yo surako… surak iyo…
Tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten
anyar
Cah angon-cah angon penekno blimbing
kuwi
Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh
dodotiro
Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing
pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo
mengko sore
Mumpung padhang rembulane,
mumpung jembar kalangane
Yo surako… surak iyo…
Begitulah
tembang yang dinyanyikan oleh Mbah Mijem. “Ngono kuwi mbak yang namanya tembang
jaman dulu. Tembang itu sudah ada dari saya kecil”, jelasnya kepadaku. Ya
beliaulah sosok Mbah Mijem, perempuan senja yang tetap bertahan dengan mainan
tradhisional telah membuatku sadar akan makna berusaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar