Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 02 Februari 2015

Perempuan Senja



      
“Perempuan senja yang tetap bertahan dengan mainan tradhisional ditengah tergerusnya zaman, telah membuatku sadar akan makna berusaha. 
 
Sebuah pengalaman yang menyenangkan. Kala itu aku dan temanku tidak merencanakan perjalanan ini, namun ada hasrat yang tiba-tiba saja membuat kami memutuskan berjalan kaki disekitar permukiman kumuh yang dahulunya pernah mendapat penghargaan sebagai kampung ramah lingkungan di sekitar bantaran sungai. Yang menarik saat itu adalah melihat perempuan senja sedang menjajakan mainan tradhisional kepada anak-anak yang bermukim di tepi bantaran sungai. Namun sayang, anak-anak itu hanya melihat sekilas kemudian kembali asyik dengan permainan mereka. Sambil mengeluarkan botol air mineral bekas yang mungkin telah beliau isi berulang kali dengan air, beliau meletakkan bakul dan duduk di bendungan bantaran sungai. Lantas diteguknya air itu. Kemudian kami sengaja menghampirinya. “Berapaan ini mbah?” tanyaku. “Nak yang itu dua ribu, yang ini kinciran juga dua ribu”, jawab beliau. Kulitnya yang sedikit kecoklatan mencerminkan bahwa beliau terlalu sering berada di bawah terik matahari. “Ini buat sendiri apa jenengan kulak mbah”, tanyaku dengan penuh ketertarikan. “Semua buat sendiri  mbak, didusun saya banyak pengrajin mainan tradhisional seperti ini. Tapi semuanya sudah tua-tua. Saya bikin ini dulu diajarin sama ibu saya, waktu itu saya masih kecil, masih banyak londo mbak”, jelasnya seperti kebanyakan orang tua, jika ditanya akan dijawab dengan begitu lengkapnya tanpa harus kita bertanya satu-satu. “Jenengan namanya siapa Mbah?” Lagi-lagi aku bertanya. “Mijem mbak..... Mbah Mijem “, jawab beliau dengan senyum ramah yang menghiasi wajahnya. Aku senang menatap beliau meskipun kami baru kali ini bertemu. Sosok perempuan jawa benar-benar tercermin pada diri beliau. Rambut


yang masih digelung apa adanya, dengan busana jarik dan kebaya. Menemukan perempuan yang berpakaian demikian di zaman sekarang memang jarang. Paling tidak mereka berpakaian seperti itu karena ada suatu perayaan atau hari-hari
tertentu. Meskipun ada beberapa perempuan disekitar tempat tinggalku masih berpakaian seperti itu, namun hanya mereka yang berusia senja seperti Mbah Mijem.

“Jenegan tinggalnya sama siapa mbah, sendiri atau dengan anaknya?“ jujur aku menyadari pertanyaanku memang semakin menjorok kearah pribadi beliau, namun aku memang benar-benar ingin mengenal sosok beliau lebih dalam. “Saya tinggalnya sendiri, anak saya di paran semua. Sudah punya keluarga sendiri-sendiri mbak,” ucap beliau sambil menyampirkan kain jarik kepundaknya. “Jenengan itu sudah sepuh kok masih berjualan seperti ini to mbah”, tanyaku hati-hati agar beliau tidak tersinggung. Namun dugaanku meleset jauh, beliau menjawab pertanyaaku sama sekali tidak ada nada tersinggung justru beliau malahtertawa. “Sampeyan itu yo lucu mbak, yang namanya jualan seperti ini ya buat cari rejeki, walaupun sudah tua ya kalau masih kuat kenapa tidak. Gusti Allah ngasih mata, kaki, tangan, pikiran itu buat digunakan. Jangan tergantung sama orang lain mbak, apalagi sampai minta-minta. Walaupun sudah tua jangan sampai minta-minta, wong sudah dikasih kelebihan sama Gusti Allah kok gak mau berusaha. Dosa itu mbak. Saya buat mainan kaya gini meskipun dikit-dikit ya laku. Yang penting ada usaha mbak. Gusti Allah paring rejeki itu karo wong sing berusaha mbak,” kata-kata yang beliau ucapakan sungguh mengena kepada siapa saja yang mendengarnya. Seperti aku yang saat itu mematung disampingnya. Kesederhanaan yang terdapat dalam diri beliau memancarkan kebahagiaan tersendiri, yang entah mengapa aku pun juga ikut merasakannya. “Jenengan bisa nyanyi gak mbah”, gurauku. Beliau lagi-lagi tertawa. “Ya bisa..... nak wong jawa namanya nembang. Apa yaa… tembang Lir ilir wae yo.
Lir-ilir, lir-ilir
Tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten
anyar
Cah angon-cah angon penekno blimbing
kuwi
Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh
dodotiro
Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing
pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo
mengko sore
Mumpung padhang rembulane,
mumpung jembar kalangane
Yo surako… surak iyo…
Begitulah tembang yang dinyanyikan oleh Mbah Mijem. “Ngono kuwi mbak yang namanya tembang jaman dulu. Tembang itu sudah ada dari saya kecil”, jelasnya kepadaku. Ya beliaulah sosok Mbah Mijem, perempuan senja yang tetap bertahan dengan mainan tradhisional telah membuatku sadar akan makna berusaha.


















                                                                                                                          



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About